Harga Tembaga bertahan di sekitar $5,1 per pon pada Selasa, mendekati rekor tertinggi. Para pedagang masih mencermati kebijakan global yang bisa memengaruhi pasokan dan permintaan logam ini. Salah satu faktor utama adalah potensi tarif yang akan dikenakan oleh Amerika Serikat. Bulan lalu, Presiden Joe Biden menandatangani perintah eksekutif untuk menyelidiki impor tembaga, dengan alasan risiko keamanan nasional akibat ketergantungan yang meningkat pada pasokan luar negeri. Langkah ini memicu spekulasi bahwa tarif 25% bisa segera diberlakukan, membuat pedagang buru-buru mengamankan pengiriman sebelum kebijakan tersebut benar-benar diterapkan. Akibatnya, pasokan di tempat lain semakin ketat.

Di sisi lain, China—sebagai salah satu konsumen tembaga terbesar di dunia—baru saja menetapkan target pertumbuhan ekonomi sebesar 5% dan menaikkan defisit fiskalnya ke level tertinggi dalam tiga dekade. Pemerintah China juga mengumumkan berbagai langkah stimulus untuk meningkatkan konsumsi dan permintaan domestik. Kebijakan ini berpotensi mendorong permintaan tembaga lebih jauh, terutama karena logam ini merupakan bahan utama dalam banyak sektor industri, mulai dari konstruksi hingga teknologi.
Permintaan tembaga memang terus meningkat, didorong oleh tren global seperti elektrifikasi, energi terbarukan, dan kecerdasan buatan. Dalam beberapa tahun terakhir, penggunaan kendaraan listrik semakin populer, yang berarti kebutuhan akan tembaga untuk baterai dan infrastruktur pengisian daya ikut meningkat. Selain itu, proyek energi hijau seperti pembangkit listrik tenaga surya dan angin juga membutuhkan tembaga dalam jumlah besar untuk sistem kelistrikan dan transmisi energi.
Namun, dengan ketidakpastian pasar global, harga tembaga bisa tetap fluktuatif. Jika AS benar-benar menerapkan tarif baru, pasokan bisa semakin terganggu, yang pada akhirnya dapat mengerek harga lebih tinggi. Sementara itu, efektivitas stimulus China dalam mendorong pertumbuhan ekonomi juga akan menjadi faktor penentu dalam pergerakan harga logam ini. Jika pertumbuhan China lebih lemah dari yang diharapkan, permintaan tembaga bisa melambat dan mengimbangi tekanan kenaikan harga akibat tarif AS.
Bagi para investor dan pelaku industri, situasi ini perlu terus dipantau. Harga tembaga yang tinggi bisa menjadi peluang bagi produsen, tetapi di sisi lain, biaya bahan baku yang naik bisa membebani sektor manufaktur. Dengan dinamika pasar yang terus berkembang, keputusan investasi di sektor ini perlu dilakukan dengan hati-hati dan mempertimbangkan berbagai faktor global yang sedang bermain.